Awalnya Kita Masih Memusatkan Perhatian



Bagian Pertama :
Sebelum wabah coronavirus, tidak ada satupun rapat yang saya hadiri dengan virtual semua dilakukan tatap muka di ruang rapat. Hampir tidak memungkinkan membawa pekerjaan saat rapat karena hanya pegawai tertentu yang memiliki laptop, saya bekerja di depan komputer, semua dokumen pekerjaan ada di sana. Jika saya membawa komputer berpindah ke ruang rapat tentu saja merepotkan saya, dedikasi terhadap pekerjaan tidak perlu terlalu berlebihan. Maka, demi menjaga keseimbangan antara pekerjaan dengan rapat, setiap karyawan berbagi peran, dan rapat tidak serutin pekerjaan harian. Mereka yang menghadiri rapat tatap muka tentu saja memberikan semua perhatiannya pada pembahasan penyebab rapat tersebut dilangsungkan. 
Kenormalan tersebut berubah saat wabah coronavirus memaksa orang-orang harus hidup dalam keterbatasan berinteraksi dengan manusia lain untuk menekan penyebaran demi menimalkan jumlah kematian hingga manusia menemukan obat/penangkal agar melewatinya. Namun, jika manusia berlindung di rumah masing-masing secara penuh tanpa berinteraksi dengan manusia lain, selain akan menyalahi kodrat manusia sebagai makhluk sosial, yang terpenting ekonomi tidak akan menjalankan fungsinya. Kemungkinan kematian karena kegagalan ekonomi akan lebih besar dibandingkan kematian karena terjangkit coronavirus.
Manusia harus tetap bekerja, perekonomian harus berputar walaupun dalam keterbatasan, mendorong kemajuan teknologi hingga terintegrasi dalam kehidupan manusia. Saya teringat dengan bacaan yang membahas tentang manusia yang bermimipi dengan kemajuan teknologi, robot-robot akan menggantikan pekerjaan, manusia akan hidup dengan menikmati hal-hal yang disukai di dunia. Saat manusia menemukan surel (surat elektronik), manusia berpikir akan punya waktu bersantai jika tidak ada lagi waktu yang terbuang karena menunggu surat. Para pekerja jasa pengantar surat sudah tidak relevan dengan dunia kerja, mereka digantikan dengan jaringan tak kasat mata yang saling terhubung. Penemuan surel tidak membuat manusia bisa bersantai namun semakin sibuk, waktu menunggu surat digantikan dengan mengerjakan surat yang jumlahnya berkali-kali lipat dari sebelumnya.
Begitu halnya saat wabah coronavirus, teknologi mendorong para pekerja dapat bertemu membahas pekerjaan dengan virtual. Pada awalnya, saya cukup menyukainya apalagi saat bisa berinteraksi dengan orang lain di saat sudah beberapa bulan terkurung dalam kamar kosan karena larangan keluar rumah oleh pemerintah. Seperti halnya dengan proses pengiriman surat, rapat tatap muka langsung tentu menyita waktu kerja bukan hanya saat rapat tetapi juga perjalanan menuju ruang rapat. Dengan adanya pilihan rapat virtual, waktu akan lebih efisien.
Kenormalan baru terbentuk pasca wabah coronavirus, setiap pekerja hampir pasti diberikan laptop menggantikan komputer. Para pekerja bisa bekerja di mana saja, di ruang kerja, di kantin, di rumah, di ruang rapat, asalkan laptop punya daya dan sambungan internet dari ponsel. 
Walaupun teknologi sudah sangat maju, namun para penemu belum bisa membuat teknologi mesin waktu Doraemon agar manusia bisa kembali ke masa lalu mengkoreksi kekeliruan yang penah kita buat. Ketiadaan teknologi tersebut, membuat manusia hanya bisa meratapi masa sekarang yang sedang kita jejaki. 
Saat ini seringkali kita dijejali dengan berbagai hal yang membuat kita tidak memusatkan perhatian pada satu hal, beberapa orang memiliki kemampuan mengerjakan beberapa hal secara bersamaan tetapi beberapa lainnya mungkin tidak bisa.
Saya juga tidak tahu, siapa yang saling mempengaruhi dalam hal menciptakan disrupsi yang membuat manusia "crisis of attention", apakah teknologi yang merubah perilaku manusia atau sebaliknya kita yang membuat teknologi bergerak ke arah yang menghilangkan kemampuan kita dalam memusatkan perhatian pada satu hal saja.

0 komentar:

Posting Komentar